Tak Berkategori

Membangun Rumah Tangga di atas Pondasi ‘Nikah Afeksional’

Membangun Rumah Tangga di atas Pondasi ‘Nikah Afeksional’

Apabila kita berkendaraan dari Jakarta ke Bandung, atau dari kota satu ke kota lainnya, di seberang pinggir jalan di sebelah kiri akan terlihat ‘patok kilometer’ (‘mile stone’) yang menunjukkan berapa kilometer lagi jarak yang harus kita tempuh untuk sampai pada kota tujuan. ‘Mile Stone’ membantu kita dalam memperkirakan berapa jam lagi waktu yang dibutuhkan untuk sampai pada tempat tujuan dan berapa liter lagi bahan bakar yang dibutuhkan.

Dalam upaya untuk menjalani dan sekaligus meningkatkn kualitas hidup diperlukan adanya ‘sasaran antara’ beserta penetapan waktu atau paling tidak ‘target tentative’ dari peristiwa hidup terpenting, seperti kapan menyelesaikan sekolah, mendapatkan pekerjaan, kapan menikah dan mempunyai anak, melaksanakan ibadah haji dan sebagainya. Penetapan program hidup mukminin dalam kerangka waktu yang dikehendaki (‘time frame’) pada hakekatnya merupakan substansi dari visi hidup yang direntangkan ke depan sampai ke ujung tujuan hidup yakni Khusnul Khotimah.

Nikah bila dilihat sebagai suatu ‘moment utama’ dapat diibaratkan sebagai salah satu patok jarak, yang karena pentingnya orang tidak bisa melewatinya begitu saja. Diperlukan berbagai persiapan jauh sebelumnya, mulai dari menentukan type-pasangan, gambaran rumah tangga yang diidamkan sampai dengan interaksi melalui jaringan silaturahmi baru yang akan dibangun. Lebih dari itu pernikahan adalah sunatullah yang tidak hanya dilakukan oleh manusia tapi dilaksanakan oleh hewan, tumbuh-tumbuhan sampai pada mikro-organisme dalam upaya menyempurnakan hidupnya, mencapai berbagai tujuan hidup yang tidak bisa diraih sendirian termasuk memiliki keturunan.

Diperlukan keikhlasan sikap saling mengerti dan saling menghargai yang lahir dari pengakuan saling membutuhkan dan melengkapi. Rangkaian pasangan laki-perempuan selain terjadi pada mahluk bernyawa, dikodratkan juga pada dzat ciptaan lainnya seperti oxigen dan hidrogen pada air, negatip dan positip pada listrik serta putik berpasangan dengan benangsari pada bunga agar menjadi buah. Masing-masing tidak akan berarti dan berfungsi bila yang satu tidak berinteraktif dengan yang lain dalam format saling berpasangan.

Dalam surat Yasin ayat 36 dan surat Adz Dzariyat ayat 49, Allah swt. berfirman:

“Maha Suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi, dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

“Dan dari segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”.

Kebutuhan Afeksional dan ‘Security Feeling’

Suatu perkawinan yang berlandaskan kasih-sayang atau afeksional akan menimbulkan ketenangan dan ketentraman sehingga seluruh keluarga merasa terlindungi perasaannya (‘security feeling’). Rumah tangga yang diliputi suasana kasih sayang lebih terjamin kestabilan dan kontinuitasnya daripada yang didirikan diatas fondasi kebendaan duniawi semata, terlebih bila awal ketertarikan pasangan terlalu cenderung pada penampilan fisik dengan dorongan biologis yang terlalu dominan. Semakin tambah usia akan semakin menurun tampilan fisiknya, bila tidak ditopang kesetiaan dan rasa sayang kondisi perkawinan akan cepat rapuh dan rumah tangga akan kehilangan pilar utamanya. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an surat Ruum ayat 21, yang berbunyi:

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.

Manusia adalah mahluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan mahluk lainnya. Untuk menjaga kemuliaan manusia, Allah menciptakan aturan hubungan laki perempuan dalam tata pergaulan dan aturan pekawinan sesuai syari’ah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Kasih sayang Allah swt. sedemikian besar pada ummat manusia, jauh melebihi kasih sayang seorang ibu pada anak tunggalnya, sehingga secara khusus dijaga agar tidak berbuat semaunya, tidak melakukan hubungan dengan lawan jenis sesuka syahwatnya seperti binatang atau tumbuh-tumbuhan yang dapat kawin cukup dengan perantaraan angin. “. . . . . dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan”. (Surat Al Hijr ayat 22).

Dibuatkan tanda-tanda pembatas, dibunyikan alarm sebelum jatuh terperosok ke selokan yang menjijikkan, semuanya diperuntukkan bagi manusia mahluk yang dimuliakan. Tidak ada sama sekali maksud mempersempit ruang gerak atau membatasi kebebasan bergaul, melainkan demi keutamaan, kebahagiaan manusia didunia fana dan akhirat yang kekal bagi mereka yang mau mengerti. Dengan syari’ah yang terdapat dalam kitab Al Qur’an atau Hadist Rasulullah saw. ditunjukkan jalan dan solusi terbaik bagi seseorang yang berkeinginan untuk berpasangan dan bergaul dengan lawan jenisnya melalui hukum-hukum perkawinan, mulai dari meminang, memberikan mas kawin, akad nikah termasuk syarat wali dan saksi-saksi pernikahan hingga kemungkinan kejadian sesudahnya.

Perasaan aman dalam keluarga akan tercermin dari pancaran keceriaan dan keteduhan wajah anak. Salah seorang atau kedua orang tua merasakan kerisauan atau menahan kepedihan hati, refleksinya sudah tertangkap oleh sensitivitas hati anak sebelum terekspresi keluar. Bahkan anak masih dalam kandungan sudah mampu merekam suasana hati ibunya, yang bila kondisi ini berlangsung lama dan dalam akan mempengaruhi atau menghambat pertumbuhan kepribadian anak.

Banyak jalan untuk menciptakan rasa aman dalam rumah tangga, sikap bijaksana dan kedewasaan dalam menyelesaikan masalah keluarga akan banyak membantu terwujudnya ‘security feeling’. Membuat rumah menjadi lebih kondusif untuk kehidupan yang lebih tenang dan khusu’ akan mengurangi ketegangan dan kekakuan hubungan suami dan isteri dan hubungan dengan anak dan anggota keluarga lainnya termasuk nenek dan kakek serta pembantu rumah tangga. Kebersihan rumah, hiasan dinding Islami dan suara dari bacaan mengaji Al Qur’an yang dijaharkan serta kebiasaan sholat berjamaah akan mengundang kedatangan malaikat rahmat yang membawa barokah masuk ke rumah kita meniupkan kesejukan ke kalbu penghuninya. Insya Allah.

Mekanisme Proses Baru ‘Client and Server’

Sebaiknya disadari sebelum hidup berumah tangga, bahwasanya akan terjadi suatu mekanisme proses bergantian peran sebagai orang yang dilayani (‘Client’) dan peran sebagai orang yang melayani (‘Server’) untuk tercapainya tujuan hidup bersama dalam bentuk interaktif network sebuah keluarga, saling meminta dan memberi satu sama lain. Diperlukan pengenalan lebih jauh atas kebiasaan menyikapi dan menyelesaikan masalah, pengertian atas perasaan dan harapan, sumber daya, perkiraan potensi kapasitas atau kemampuan masing-masing serta komitmen sebagai anggota team work yang akan dibentuk. Permasalahan yang biasanya dapat diselesaikan sendiri, akan muncul sebagai masukan dari suatu proses kerjasama sebagai kebersamaan tugas dengan keluaran yang dapat diterima team dan relatip memuaskan keduanya. Apapun dan seberapapun yang nanti dihasilkan dengan segala konsekwensinya menjadi tanggung jawab bersama, dimana peran suami sebagai penanggung jawab pertama menjadi lebih dominan. Persoalan baru dalam bentuk yang lebih kompleks akan muncul dengan hadirnya anak sebagai anggota baru, dengan kemampuan sebagai perekat kasih sayang dalam rumah tangga.

Bapak Ibu

(Client / Server) (Client / Server)
Anak Anak (Dewasa)
(Client) (Client / Server)

 

Network Client and Server : Ibu – Bapak – Anak

Allah swt. akan menambah semangat hidup, semangat berusaha dan memperkenankan keluarga yang diridhoiNya untuk berbuat lebih banyak atas namaNya, meningkatkan ketakwaan dalam ikatan silaturahmi keluarga yang terpelihara oleh barakah kasih sayangNya, sesuai firman Allah dalam surat An Nisaa’ ayat 1:

“Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada TuhanMu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah) hubungan silaturahmi keluarga. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.

Ajaran Islam mendorong dan menyukai perkawinan mengingat sedemikian banyak kebaikan yang bertalian dengan perkawinan, kebaikan dan kedewasaan bagi yang bersangkutan, tumbuhnya sikap saling melayani dalam silaturahmi sekaligus menciptakan unit organisasi masyarakat terkecil dan terpenting.

Terjalinnya persaudaraan antara keluarga suami dan keluarga isteri, dapat berarti terhubungnya dua keluarga yang sebelumnya mungkin tidak saling mengenal karena perbedaan tempat tinggal, perbedaan profesi dan kebiasaan ataupun budaya. Pada saat ini perjalanan jarak jauh, bahkan kunjungan kenegara lain sering dilakukan orang karena hubungan menantu dan mertua sedemikian akrab penuh persaudaraan malah sering dianggap sebagai anak sendiri yang membutuhkan kehadiran orang tuanya pada kejadian-kejadian tertentu seperti sakit, melahirkan dan sebagainya.

Bagi pemuda muslim atau muslimah memilih pasangan hidup harus berhati-hati, tidak terburu-buru karena terdorong penampilan yang bersifat lahiriah. Tingkah laku, materi pembicaraan, pendapat atau pandangan terhadap suatu masalah dan kegemaran (interest) akan menceriterakan sebagian besar kepribadian seseorang. Hal ini perlu dilanjutkan dengan melihat latar belakang keluarganya, apakah mempunyai ketaatan pada agama ataukah masih memerlukan banyak bimbingan dan pembinaan. Sikap hati-hati untuk mengetahui hubungan keluarga dan saudara diperlukan pula agar tidak terjadi ketidak-mengertian karena perpisahan yang lama, ‘chating’ atau berkirim email lewat internet, pertemuan di luar negeri, kurangnya silaturahmi dan sebab lain yang mengakibatkan dosa karena larangan mengawini wanita-wanita tertentu, sesuai firman Allah dalam surat An Nisa ayat 23 yang artinya:

“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu-ibu yang menyusukan kamu dan saudara-saudara perempuan sepersusun denganmu, ibu-ibu isterimu (mertuamu), anak-anak perempuan isterimu yang dalam pemeliharaanmu, dari isteri yang telah kamu gauli, tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan (diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dikawin bersama ) dua perempuan bersaudara, kecuali yang pernah terjadi dimasa lalu, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ”.

Dan yang terpenting adalah mohon petunjuk Allah swt. melalui shalat malam (sholatul lail) atau do’a dzikir sesudah shalat fardhu, apakah dia wanita yang halal untuk dinikahi, mampu diajak hidup susah bila kekurangan dan tahan godaan bila berkelebihan materi, serta bersedia bersama-sama membesarkan dan mendidik anak menjadi manusia shalih-shalihah.

Dalam sebuah hadist riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah saw. bersabda:

“Wanita dinikahi karena empat sebab,karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Pilihlah wanita yang beragama, engkau akan selamat”.

Sedang pada hadist riwayat Nasa’i dan lainnya, Rasulullah saw. bersabda:

“Sebaik-baik wanita adalah apabila kamu memandangnya kamu akan merasa senang, apabila kamu perintah ia akan patuh, apabila kamu beri bagian ia akan menerimanya, apabila kamu pergi ia akan menjaga dirinya dan menjaga hartamu”.

Dikisahkan seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib seraya berkata:

“Saya mempunyai anak perempuan, menurut pendapatmu, siapa sebaiknya yang menjadi suaminya?” Hasan menjawab: “Nikahkanlah dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah, kalau dia mencintainya dia akan menghormatinya, kalau tidak senang tidak akan sampai berbuat kasar kepadanya”.

Menikah mendatangkan Rahmat dan Rizki KaruniaNya.

Sebagian orang menduga bahwa hidup berumah tangga akan mengakibatkan pengeluaran yang lebih besar dibanding hidup melajang. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena pengeluaran yang dikelola seorang isteri biasanya lebih terarah dan lebih hemat. Isteri umumnya lebih tahu dimana barang kebutuhan dijual lebih murah, bagaimana menghemat pengeluaran untuk menyediakan makan dengan memasak sendiri serta suami lebih sedikit keluar rumah untuk tujuan yang kurang bermanfaat dan sebagainya. Bahkan bagi mereka yang belum mampu finansial atau merasa miskin Allah swt. menjanjikan pemberian rizki bagi kelangsungan hidup berumah tangga sebagai karuniaNya atas usaha untuk menjaga kehormatannya melalui pernikahan.

Dalam surat An Nahl ayat 72, Allah swt. berfirman:

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, dan menjadikan bagimu dari isteri-isterimu itu anak- cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik”.

Diatas segalanya keuntungan terbesar dari pernikahan dibanding sewaktu masih sendirian adalah meningkatnya pahala ibadah, shalat berjamaah suami isteri membuahkan pahala duapuluh tujuh kali dibanding shalat sendirian. Saling membangunkan untuk melaksanakan shalat tahajud merupakan kebajikan tersendiri disamping karunia dan berbagi macam keutamaan yang dijanjikan Allah swt. bagi mereka yang melaksanakannya. Suasana bulan Ramadhan terasa lebih nikmat dan indah bersama keluarga dalam sebuah rumah tangga terlebih bila sudah dikaruniai anak yang kadang ikut meramaikan suasana makan sahur.

Seorang suami yang bekerja untuk kelangsungan hidup keluarganya atau seorang isteri yang mempersiapkan makanan serta pakaian bersih untuk suami dan anaknya, akan memperoleh tambahan semangat bila memperoleh rasa atau ucapan terima kasih atas jerih payahnya.

Tanpa disadari terjadi proses multiplier yang disebabkan oleh bertambahnya kekuatan motivasi ‘client dan server’ dalam mekanisme saling melayani hingga produktivitas keluarga dalam berbagai aspeknya semakin meningkat seiring do’a dan dzikir yang terus menerus dipanjatkan ke hadiratNya.

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian (laki-laki yang belum beristeri dan perempuan yang belum bersuami) diantara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-sahayamu yang laki-laki dan perempuan . Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui (Surat An Nur ayat 32).

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Anas r.a, yang menceriterakan kunjungan tiga orang laki-laki menghadap Rasulullah saw. bertanya tentang amal dan ibadah beliau. Mereka kemudian menafsirkan penjelasan Rasulullah saw. secara kurang proporsional dan berkata: “Bagaimana dengan kita ini? Beliau telah diampuni dosanya, baik yang lampau maupun yang akan datang”. Satu persatu dari mereka memberi tanggapan: “Saya akan shalat tahajud sepanjang malam”. Lainnya berkata: “Kalau begitu saya akan berpuasa sepanjang tahun tanpa berhenti”. “Kalau saya akan menjauhi wanita, dan tidak akan kawin untuk selama-lamanya”.

Menganggapi persepsi yang kurang tepat itu, Rasulullah saw. bersabda:

“Kalian berkata begitu, ketahuilah, demi Allah, saya adalah orang yang paling takut kepada Allah diantara kalian dan yang paling takwa kepadaNya, tetapi saya berpuasa dan kadang-kadang tidak berpuasa; saya shalat dan saya tidur, saya juga kawin dengan perempuan. Orang yang tidak suka dengan sunnahku dia bukan pengikutku”.
Menjaga Kehormatan Diri dengan Menikah.

Menundukkan pandangan merupakan perintah etika pergaulan antara muslim-muslimah untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan effek yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama diluar hubungan suami isteri atau hubungan kemuhriman. Berbicara seperlunya dan tidak memanjang-manjangkan percakapan dianjurkan oleh para ulama demi menghindari fitnah yang mungkin timbul dalam berkomunikasi diluar hubungan pernikahan. Bahkan wanita dalam syariah etika tidak diperkenankan untuk mengeraskan suaranya dan dalam shalat berjamaah hanya diperbolehkan menepukkan tangannya sewaktu dia mengingatkan iman yang membuat kekeliruan dalam bacaan atau hitungan raka’at shalat tanpa menjaharkan lafadz Subhanallah sebagai layaknya makmum pria. Wanita beriman menjaga kehormatannya dengan mengenakan busana sesuai aturan syari’ah, dan tidak berusaha menampakkan perhiasan yang dikaruniakan Allah kepada mereka sesuai firmanNya dalam surat An Nur ayat 31, yang berbunyi:

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman: (Hendaklah) mereka menahan pandangan mereka, dan menjaga kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali apa yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutup dadanya dengan kain kerudung mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau kepada anak-anak mereka, atau kepada saudara-saudara mereka, atau kepada anak-anak saudara laki-laki mereka, atau anak-anak saudara perempuan mereka, atau kepada wanita-wanita (sesama) mereka, atau budak-budak yang mereka miliki, atu kepada pelayan-pelayan dari laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti atas aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semuanya kepadaAllah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung”.

Pernikahan memiliki dampak kecenderungan yang sama bagi usaha mempertahankan kehormatan diri, menghindarkan kemungkinan perbuatan-perbuatan yang dimotivasi oleh bujukan syaitan untuk menindak lanjuti pertemuan pandangan, percakapan ataupun sentuhan yang mengarah pada perbuatan yang dilaknat Allah swt. sebagai dosa besar berupa perzinahan.

“Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu hendaknya kawin, sebab kawin akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan, kalau belum mampu agar berpuasa, karena puasa akan menjadi perisai baginya”. (Hadits Riwayat Bukhari – Muslim).

“Ada tiga orang yang berhak mendapatkan pertolongan Allah, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah, hamba sahaya yang berniat akan menebus dirinya dan orang yang kawin untuk melindungi kehormatannya”. (Riwayat Tirmidzi dari Abu Ayub).

Allah swt. tidak menghendaki hubungan seks diluar pernikahan karena akan mengakibatkan dampak buruk tidak hanya bagi pelakunya saja tapi akan mengakibatkan penderitaan bagi anak yang dilahirkan bahkan menyebabkan tersebarnya penyakit yang sukar disembuhkan serta akibat lain yang menyengsarakan seperti pengguguran kandungan atau aborsi.

“Dan janganlah kamu mendekati zinah, sesungguhnya zinah itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang sangat buruk”.

Demikian besar dosa yang diakibatkan oleh perbuatan ini, sehingga disejajarkan dengan membunuh orang tanpa hak dan menyembah Tuhan lain disamping Allah. Penyesalan yang sungguh-sungguh disertai amal saleh melalui taubatan nashuha akan diterima dengan memperhatikan surat An Nur ayat 1 sampai dengan 10. Dalam kitab suci Al Qur’an surat Al Furqan ayat 68, 69 dan 70, Allah swt. berfirman:

“Dan orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta Allah, dan mereka tidak membunuh seseorang yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, dan mereka tidak berzinah. Dan barangsiapa yang berbuat demikian (niscaya) dia mendapat dosa”.

“(Yaitu) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat, dan dia kekal dalam azab itu (dalam keadaan) terhina”.

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka mereka itulah akan diganti oleh Allah kejahatan-kejahatan mereka dengan kebaikan. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Menjaga kehormatan dalam konteks keluarga berarti masing-masing memelihara kehormatan dirinya, suami menjaga kehormatan isteri dan isteri menjaga kehormatan dan wibawa suaminya. Disamping itu keduanya harus mampu menjaga kehormatan, keharmonisan dan keutuhan keluarga dengan tidak menonjolkan kepentingan dan ego masing-masing serta lebih memperhatikan dan mendahulukan kebutuhan, kepentingan dan perkembangan anak, disini anak diposisikan sebagai point centre. Dalam batas yang wajar hal ini tidak akan berakibat menimbulkan kemanjaan atau ketergantungan tapi justru akan mempercepat proses pertumbuhan kepribadian anak. Secara berimbang pada diri anak akan berkembang tubuh yang sehat, psiko-edukatif, kemampuan adaptasi sosial dan sensitivitas spiritual.

Kurang berfungsinya orang tua (deprivasi parental) dalam pembinaan rumah tangga dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan jiwa anak yang bila terus berlanjut akan menimbulkan gangguan kepribadiannya (personality disorder).

Metode praktis dan terbukti berhasil dalam menciptakan keluarga yang sakinah, keluarga yang kohesif adalah dengan menghidupkan suasana Islami dalam keluarga, dalam beribadah, shalat –berjamaah, puasa berjamaah dengan makan sahur dan berbuka bersama keluarga. Seluruh anggota keluarga dapat diajak untuk mengikuti pengajian dan dzikir serta ceramah bersama-sama, bergabung dalam wisata agama atau bila memungkinkan melaksanakan umrah dan haji sekeluarga serta kebersamaan lain yang bernuansa ibadah atau rekreasi-religius.

Suami dan isteri perlu saling mendorong dan memotivasi dalam menambah ilmu, memperluas wawasan dan pengalaman, meningkatkan silaturahmi dan dalam upaya semakin mendekatkan diri bertaqarub kepada Allah swt. seraya berdo’a:

“Rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrata a’yunin waj’alnaa lilmuttaqiina imaaman”

“Yaa Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami dari isteri-isteri kami dan keturunan kami yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami pemuka bagi orang-orang yang bertaqwa”. (Al Furqan ayat 74).

sumber : http://www.geocities.com/yahdi.geo/MileStone.doc

7 thoughts on “Membangun Rumah Tangga di atas Pondasi ‘Nikah Afeksional’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *